Tulisan tak bernyawa

Thursday, April 5, 2012

Sebuah Pilihan


Sebuah Pilihan
Oleh: Rihlaturrizqa Attamimi

Elang masih mengitari alam ini. Meskipun tidak semua dijelajahi, tetapi setidaknya ada kepuasan tersendiri baginya sebelum senja datang dan mega mulai memerah.
Dukuh Tempel masih menjadi teman setiaku setelah hujan mengguyur terlalu deras. Embun basah tidak pernah absen setiap hujan datang, ia akan menjadi teman setia bagi dedaunan. Masih terlihat genangan air di halaman rumah akibat pola tanah yang tidak teratur, tetapi itu tidak akan mengubah pendirianku untuk terus menghirup napas serta menghembuskannya hingga akhir hidupku, sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormatku kepada daerah yang selama ini aku diami, serta selalu menjunjung tinggi adat atas peninggalan almarhumah Ibu dan nenek moyang dahulu, bersama Bapak sebagai pemilik dua petak sawah dan aku yang menjadi seorang guru di salah satu SMP.
“Dewi, ko lagi apa?”[1]
“Lagi ning bale. Primen, Pak?”[2]
“Oh… Ora papa, mbokan sih nesih ning kamar. Bapak pen ngomong sedelat, mene geh.”[3]
Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan, merasakan ada hal penting yang akan Bapak bicarakan mengenai Mas[4] Satrio. Entahlah, aku hanya berharap Gusti[5] Allah memberikan Bapak pengertian tentangnya. Tentang Mas Satrio yang telah dua tahun ini mencintai dan menyayangiku setulus hati.
“Bapak ora pengin dadi menungsa sing nggawe lara atine wong liya, apa maning anake dewek. Bapak kur pengin ko urip kepenak karo bojone ko mbesuk. Ben bapak kari wis ning alam dunia bisa seneng ndeleng keluargane ko seneng.”[6]
Sesaat aku terdiam lalu tertunduk. Ingatanku kembali ke masa lalu. Saat Mas Satrio dulu datang ke rumah, Bapak mengatakan bahwa beliau tidak menyetujui hubungan kami. Beliau paham benar latar belakang keluarga Mas Satrio yang terkenal realistis. Keluarganya tidak menyukai orang-orang yang masih mempercayai dan menjunjung tinggi adat yang dibawa nenek moyang. Memang, sebagian warga di sini sudah mengetahui tentang hal itu.
Kebingungan kini melandaku, mataku basah. Yang bisa kulakukan hanya membiarkan butiran-butiran bening membasahi kedua pipi hingga aku pun lama kelamaan merasa lelah.

***

“Satrio, sapa pacarmu? Ora pernah dikenalna karo Ibu. Emang wong endi sih?”[7]
“Oh, iya, Bu. Arane Dewi. Bocah Dukuh Tempel juga, tapi beda RT karo dewek. Aku sengaja durung pernah ngenalna karo Ibu soale nunggu waktu tepat, kan aku juga nesih kerja. Tapi, kari misale Ibu njaluk kayak kuwe, ya wis gampang. Aku bakal ngomong maring Dewi, ben langsung dikenalna karo Ibu.”[8]
“Lho, ora usah nunggu waktune. Ibu ora pengin ko salah milih, terus mengko kari wis nikah malah ko ora bahagia. Mulane Ibu njaluk digawa mene secepete calon bojone ko.”[9]
“Iya, Bu.”[10]
Percakapan sesaatku dengan Ibu membuat kekhawatiran menghampiri perempuan setengah baya itu. Tadi Ibu mengatakan kepadaku agar jangan sampai salah dalam memilih pasangan. Aku takut Ibu tidak menyetujui hubunganku dengan Dewi, satu-satunya perempuan yang kuharapkan menjadi istriku.

***



“Assalamu’alaikum, Dik. Wis bubu durung?”[11]
“Wa’alaikumussalam. Durung, Mas. Kebeneran men, mulane nyongge pengin nelpon, tapi malah kedisitan Mas.” [12]. Dengan nada datar kubalas sapaan Mas Satrio di telepon.
“Oh… Ngene, Dik. Ibuku pengin ketemu karo Adik. Ya… Ibu pengin ngerti calon bojoku.”[13]
“Apa, Mas? Ibu pengin ketemu aku?”[14] suaraku terdengar keras dan mengagetkan Mas Satrio.
“Lho, emang  primen, Dik? Kan ko sing durung pernah maring umahku, mumpung Ibu wis ngomong kayak kuwe. Sekalian pendekatan karo Ibu. Dik bisane kapan? Apa dipikir ndisit nggolet jadwal sing pasti, sekirane ora ganggu aktivitasmu? Yo wis, Adik ngesuk kan ngajar, aja bubu wengi-wengi mengko kawanan. Ya? Mas kangen kamu, Sayang….”[15]
Kurebahkan tubuh di atas spring bed lama hadiah ulang tahunku dua puluh tahun lalu. Rasa kantukku mulai datang. Namun aku masih saja mengingat kalimat terakhir Mas Satrio yang menyelimutiku dalam malam yang makin pekat, hingga aku tertidur lelap.

***

“Bapak, lagi sibuk apa ora? Aku pen ngomong karo Bapak.”[16]
“Ngomong apa, Nduk? Bapak ora lagi sibuk kok. Mumpung dina kiye ora nilik maring sawah, soale kebutuhan sing diperlukna tukang wis lengkap. Pengin ngomong apa? Ya wis, mene, njagong ning ruang tamu bae.”[17] 
Kulangkahkan kaki dengan perlahan namun pasti. Hari ini Sabtu, aku libur mengajar. Aku duduk di sofa, tepat di sebelah Bapak. Sengaja tidak kuambil posisi duduk tepat di depan Bapak  karena aku tidak mau memandang wajahnya saat kami saling bicara. Aku hanya ingin mengetahui penjelasannya, tanpa harus melihat wajahnya yang selalu bisa mendamaikan suasana.
“Pak, aku ‘kan sak iki umure wis 24 tahun, aku wis dudu bocah cilik maning. Sing nesih digendong, didulang, diadusi. Aku pengin mbangun rumah tangga, Pak.  Tentune karo wong sing bener-bener sayang karo Bapak lan aku. Aku wis netepna pilihane ning Mas Satrio. Aku cuma pengin njaluk restune Bapak. Aku karo Mas Satrio serius, Pak.”[18]
“Nduk, Bapak pernah ngomong karo ko, kan? Bapak ora pengin nggawe lara ati karo ko sebagai anake dewek juga wong liya. Bapak ora pengin ngributi masalah kiyé. Ko wis gedé. Bapak ora pengin ngelarang sing wis dadi pilihanmu, tapi ko kan ngerti. Keluargane Satrio dudu wong biasa sing uripe kayak dewek. Keluargane dudu wong sing mbakti karo adat, malah ora pernah ngelakoni adat sing wis dadi batir urip wong Dukuh Tempel. Ko ngerti ‘kan maksude Bapak?”[19]
Dengan nada tegas Bapak mengutarakan pernyataannya. Meskipun aku tak melihat bagaimana laki-laki 55 tahun itu menjelaskan, aku tahu bagaimana mimiknya. Bagaimana juga ia harus dengan sangat terpaksa menentang hubungan kami hanya karena satu alasan: beda prinsip. Sebenarnya aku tidak mau membahas lagi soal itu, tetapi aku tidak bisa membohongi hatiku bahwa aku sangat kecewa dengan Bapak. Aku juga marah pada diriku sendiri. Bingung, tetapi aku sadar. Ini barulah permulaan, belum melangkah selanjutnya. Aku masih harus tetap mempertahankan komitmen ini tanpa harus melawan Bapak.
“Bagaimanapun caranya, akan kulakukan,” bisikku dalam hati.

***

Kulangkahkan kaki bersama Mas Satrio menuju rumahnya. Perasaanku tak karuan. Dia menggenggam tanganku erat, dengan sesekali memandang wajahku. Aku tahu, dia berupaya menguatkan keyakinan hatiku. Perlahan-lahan risauku pun sirna. Dialah mentari yang mampu membakar kerisauanku.
“Assalamu’alaikum, Ibu. Mene geh, ana Dewi.”[20]
Sambil tergopoh-gopoh wanita itu berlari kecil menuju ruang tamu.
“Oh, kiye sing arane Dewi?”[21]
Aku mendekat pada wanita itu, lalu kucium tangannya sebagai rasa hormat dan salam perkenalanku dengannya.
“Iya, Bu.”[22]
“Umahe nang endi? Jarene cah Dukuh Tempel? Anake sapa?”[23]
Pertanyaan Ibu membuatku semakin takut dan gugup. Aku tidak kuasa memandang matanya yang begitu tajam. Tanganku mulai gemetaran. Apakah ini yang selalu dirasakan perempuan lainnya ketika bertemu dan bicara dengan Ibu dari calon suaminya untuk pertama kalinya? Ah! Kurasa hanya aku yang seperti ini, kataku dalam hati.
“Nggih, Bu. Griya kulo teng Dukuh Tempel, putrine Pak Sugeng[24]
“Oh, Pak Sugeng sing umahe ning blok Dukuh Tempel?”[25]
“Nggih, Bu. Leres niku”.[26]
Percakapan kami berakhir sampai di sini, karena ia pamit pergi entah ke mana. Mungkin menengok karyawannya yang ada di percetakan, atau mungkin sengaja memberikan keleluasaan padaku dan Mas Satrio untuk saling berbincang. Entahlah, lirihku dalam hati.

***
     
Satrio, Ibu pengin ngomong karo ko, lagi ora sibuk ‘kan?”[27]
      “Ngomong apa, Bu? Iya, Bu. Aku ora lagi sibuk.”[28]
Satrio, Ibu pengin ngomong masalah Dewi. Ko kan ngerti, keluargane dewek dudu keturunan sing percaya maring adat sing ora mlebu akal, apa maning sampe ngelakoni, ko ngerti maksude Ibu, ‘kan?”[29]
      “Iya, Bu.”
“Ibu kudu ngomong masalah Dewi karo keluargane maring ko. Bapakne Dewi, Pak Sugeng, kuwe wong sing taat lan manut karo adat, sing dadi kepercayaan wong gemenyen mesti dilakoni, Ibu ngerti men keluargane Dewi. Ko kan wis dewasa, Ibu juga ora pantes ikut campur masalah pribadine ko, terlalu ngatur. Ibu ora pengin. Tapi, masalah sing lagi diadepi Ibu karo ko kudu cepet dirampungna. Kan kiye nganggo masa depane ko juga, kari ko mbesuk ora bahagia, kan Ibu juga bakal ditagih, ndaranine Ibu ora ngerumat ko sing bener. Ko ngerti ‘kan maksude Ibu sekiye?”[30]
“Iya, Bu”.[31]
Aku hanya mengangguk lalu diam, sedangkan Ibu pergi ke kamar meninggalkanku yang mendadak dilema. Kurebahkan tubuh ini di sofa. Mataku tak sanggup jika harus menatap langit dan bercerita pada malam tanpa bintang.

***

Nada dering “Beautiful Girl” milik Christian Bautista membuyarkan lamunanku, pertanda ada pesan masuk ke handphone-ku.
“Dik, hari ini kamu sibuk nggak? Ada yang mau Mas bicarakan sama kamu.”
“Kebetulan nggak ada, Mas. Ada apa? Kamu mau membicarakan masalah penting ya? Ya sudah, aku tunggu di Warung Biru jam 3 sore ya?
“Oh, gitu. Oke, Sayang.”

***

“Dik, Ibu ora nyetujuni maring awake dewek.”[32]
“Apa, Mas?” jawabku tak percaya. Seakan-akan tumpukan batu karang merobek hatiku. Rasanya sungguh sakit, sungguh perih.
“Dik, aku ora nyana Ibu ngomong kayak kuwe. Aku nyana Ibu setuju karo dewek.”[33]
“Mas.”
Aku tercekat, tak sanggup meneruskan kalimatku. Air mataku mulai berlelehan. Aku sungguh tak kuasa membendungnya. Sementara Mas Satrio memilih diam. Mungkin ia pun merasakan apa yang kurasa.
“Mas, aku ora sanggup ngelawan Bapak, tapi aku juga ora ngerti kudu primen maning. Aku bingung.”[34]
Mas Satrio menarik lenganku, lalu memelukku dengan erat. Ia menumpahkan segala kesedihannya lewat pelukan. Tangisku memecah keheningan.
“Dik, terus dewek kudu kayak apa? Wong tuane dewek nduweni prinsip sing beda men. Mas ora bisa angger kayak kiye. Mas pengin urip karo ko selawase. Gusti Allah Maha Pemurah, ‘kan? Nasibe dewek deneng kayak kiye nemen?”[35]
“Mas, aku pengin lunga sing umah. Ben ora usah ngrepoti Bapak maning. Kan aku wis kudu-kudune mandiri, ‘kan?”[36]
“Apa, Dik? Ko serius? Terus primen karo Bapakmu, Ibuku? Aku sih ora papa.”[37]
“Wislah, Mas. Aku cukup nurut selama kiye karo Bapak. Aku emoh nurut kari kayak kiye carane.”[38]
Angin mengantarkan kepergian kami menuju tempat yang jauh: jauh dari adat, keramaian, dan orang-orang Dukuh Tempel. Mas Satrio mengenggam erat tanganku, aku membalasnya lebih erat.
Inilah yang terbaik bagi kami berdua. Aku tak mau merepotkan Bapak lagi, begitu juga dengan Mas Satrio kepada Ibunya. Ya, meskipun mungkin pahit bagi orang tua kami, namun inilah pilihan kami.
Senjakala melepas langkah kami dari Warung Biru ini. Ya, barangkali inilah yang dinamakan pengobanan dalam cinta. Sebuah pengorbanan yang indah. Tak dapat dipungkiri, inilah pilihan bagi cinta kami yang begitu kuat dan takkan terpisahkan oleh apa pun.

***


     [1] “Dewi, kamu sedang apa?”
     [2] “Sedang di depan. Kenapa, Pak?”
     [3] “Oh… Tidak apa-apa. Bapak kira masih di kamar. Bapak mau bicara, ke sini sebentar.”
     [4] Sapaan bagi laki-laki yang usianya lebih tua dalam bahasa Jawa.
     [5] Sebutan “Tuhan” dalam bahasa Jawa
     [6] “Bapak tidak mau membuat orang lain sakit hati, apalagi anak sendiri. Bapak hanya ingin kamu hidup bahagia bersama suamimu kelak. Agar Bapak juga bisa ikut berbahagia ketika melihatmu bahagia jika sudah meninggal dunia nanti.”
     [7] “Satrio, siapa pacar kamu? Kok tidak pernah dikenalkan ke Ibu. Dia orang mana?”
     [8] “Oh, iya, Bu. Namanya Dewi. Dia juga anak Dukuh Tempel, tetapi beda RT sama kita. Aku sengaja belum mengenalkan ke Ibu, karena aku pun juga masih kerja. Tetapi, kalau Ibu ingin kenal dia, nanti aku bicara ke dia biar langsung berkenalan sama Ibu.”
     [9] “Lho, tidak perlu menunggu waktu yang tepat. Ibu tidak ingin kamu salah pilih, lalu nanti setelah menikah kamu tidak bahagia. Makanya, Ibu ingin kenal secepatnya dengan calon istrimu.”
     [10] “Iya, Bu.”
     [11]Assalamu’alaikum, Dik, sudah tidur atau belum?”
     [12]Wa’alaikumussalam. Belum, Mas. Kebetulan sekali, tadinya aku mau telepon. Tetapi kamu sudah lebih dulu.”
     [13] “Oh… Begini, Dik. Ibu mau ketemu sama kamu. Katanya, Ibu mau kenal sama calon istriku.”
     [14] “Apa, Mas? Ibu mau ketemu denganku?”
     [15] “Lho, memang kenapa, Dik? Kamu ‘kan belum pernah ke rumahku. Mumpung Ibu sudah bicara seperti itu. Mau kan, Dik? Sekalian pendekatan sama Ibu. Kamu bisanya kapan? Apa dipikirkan dulu, cari jadwal yang pasti, agar tidak mengganggu aktivitasmu? Ya sudah, besok ‘kan kamu mengajar, jangan tidur terlalu malam agar tidak kesiangan. Mas kangen kamu, Sayang.”
     [16] “Bapak, lagi sibuk atau tidak? Aku mau bicara sama Bapak.”
     [17] “Bicara apa, Nduk? (Nduk=sapaan sayang untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa). Bapak sedang tidak sibuk kok. Kebetulan hari ini sedang tidak ke sawah, karena kebutuhan sawah sudah lengkap. Kamu ingin bicara apa? Ya sudah, sini, duduk di ruang tamu saja.”
     [18] “Pak, sekarang ‘kan umurku sudah 24 tahun, dan bukan lagi anak kecil, yang masih digendong, disuapi, dan dimandikan. Aku ingin membangun rumah tangga, tentunya dengan orang yang benar-benar menyayangiku dan Bapak. Aku sudah menetapkan hati dengan memilih Mas Satrio. Aku hanya ingin meminta restu dari Bapak karena aku serius sama dia.”
     [19] “Nduk, bapak pernah bilang sama kamu, kan? Bapak tidak mau membuat hatimu sakit karena sebagai anak sendiri juga kepada orang lain. Bapak tidak ingin meributkan masalah ini. Kamu sudah dewasa. Bapak juga tidak mau melarang apa yang sudah menjadi pilihanmu, tetapi kamu kan tahu. Keluarga Satrio bukan berasal dari kalangan sederhana seperti kita, mereka bukan keluarga yang selalu menjunjung tinggi adat, bahkan tidak pernah melakukan adat yang sudah menjadi teman hidup warga Dukuh Tempel. Kamu mengerti ‘kan maksud Bapak?”
     [20]Assalamu’alaikum, Ibu. Ini ada Dewi.”
     [21] “Oh, ini yang namanya Dewi?”
     [22] “Iya, Bu.”
     [23] “Rumahnya di mana? Katanya kamu anak Dukuh Tempel? Anaknya siapa?”
     [24] “Iya, Bu. Rumah saya di Dukuh Tempel. Saya putri Pak Sugeng.”
     [25] “Oh, Pak Sugeng yang rumanhnya di Dukuh Tempel?”
     [26] “Iya, Bu. Betul.”
     [27] “Satrio, Ibu mau bicara sama kamu. Kamu lagi tidak sibuk, kan?”
     [28] “Mau bicara apa, Bu? Iya, aku kebetulan lagi tidak sibuk.”
     [29] “Satrio, Ibu mau membicarakan masalah Dewi. Kamu ‘kan tahu, keluarga kita bukanlah keturunan yang percaya pada adat yang tidak masuk akal, apalagi sampai menjalaninya. Kamu mengerti maksud Ibu, ‘kan?”
     [30] “Ibu harus membicarakan masalah Dewi dan keluarganya ke kamu. Bapaknya Dewi, Pak Sugeng, itu orang yang taat dan setia pada adat yang jadi kepercayaan orang, segalanya harus dijalani. Ibu mengerti betul siapa keluarga Dewi itu. Kamu ‘kan sudah dewasa, Ibu juga tidak pantas ikut campur masalah pribadimu, terlalu mengatur kamu. Ibu tidak ingin. Tapi, masalah yang dihadapi Ibu dan kamu harus segera diselesaikan. Ini untuk masa depanmu juga, karena jika kelak kamu tidak bahagia, ‘kan Ibu juga yang akan dipertanyakan orang lain, nanti mereka kira Ibu tidak mendidikmu dengan benar. Kamu paham ‘kan maksud Ibu sekarang?”
     [31] “Iya, Bu.”
     [32] “Dik, Ibu tidak setuju dengan hubungan kita.”
     [33] “Dik, aku tidak menyangka Ibu akan bicara seperti itu. Awalnya aku mengira ia setuju dengan hubungan kita.”
     [34] “Mas, aku tidak sanggup melawan Bapak, tetapi aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku bingung.”
     [35] “Dik, lalu kita harus bagaimana? Orang tua kita memiliki prinsip yang berbeda. Mas tidak bisa jika harus terus-menerus seperti ini. Mas ingin hidup bersamamu selamanya. Allah Maha Pemurah, ‘kan? Kok nasib kita begini sekali?”
     [36] “Mas, aku ingin pergi dari rumah. Agar tidak merepotkan Bapak lagi. Aku emmang sudah seharusnya mandiri, ‘kan?”
     [37] Apa, Dik? Kamu serius? Lalu bagaimana dengan Bapakmu, juga Ibuku? Aku sih tidak masalah.”
     [38] “Sudahlah, Mas. Selama ini aku selalu menuruti perintah Bapak. Aku tidak mau menurutinya lagi jika begini caranya.”