Sebuah Pilihan
Oleh: Rihlaturrizqa Attamimi
Elang masih mengitari alam ini. Meskipun tidak
semua dijelajahi, tetapi setidaknya ada kepuasan tersendiri baginya sebelum
senja datang dan mega mulai memerah.
Dukuh Tempel masih menjadi teman setiaku
setelah hujan mengguyur terlalu deras. Embun basah tidak pernah absen setiap
hujan datang, ia akan menjadi teman setia bagi dedaunan. Masih terlihat
genangan air di halaman rumah akibat pola tanah yang tidak teratur, tetapi itu
tidak akan mengubah pendirianku untuk terus menghirup napas serta menghembuskannya
hingga akhir hidupku, sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormatku kepada daerah
yang selama ini aku diami, serta selalu menjunjung tinggi adat atas peninggalan
almarhumah Ibu dan nenek moyang dahulu, bersama Bapak sebagai pemilik dua petak
sawah dan aku yang menjadi seorang guru di salah satu SMP.
“Lagi ning bale. Primen, Pak?”
“Oh… Ora papa, mbokan sih nesih ning kamar. Bapak
pen ngomong sedelat, mene geh.”
Aku melangkahkan kaki menuju ruang makan,
merasakan ada hal penting yang akan Bapak bicarakan mengenai Mas
Satrio. Entahlah, aku hanya berharap Gusti Allah
memberikan Bapak pengertian tentangnya. Tentang Mas Satrio yang telah dua tahun
ini mencintai dan menyayangiku setulus hati.
“Bapak ora pengin dadi menungsa sing nggawe
lara atine wong liya, apa maning anake dewek. Bapak kur pengin ko urip kepenak
karo bojone ko mbesuk. Ben bapak kari wis ning alam dunia bisa seneng ndeleng keluargane
ko seneng.”
Sesaat aku terdiam lalu tertunduk. Ingatanku
kembali ke masa lalu. Saat Mas Satrio dulu datang ke rumah, Bapak mengatakan
bahwa beliau tidak menyetujui hubungan kami. Beliau paham benar latar belakang
keluarga Mas Satrio yang terkenal realistis. Keluarganya tidak menyukai orang-orang
yang masih mempercayai dan menjunjung tinggi adat yang dibawa nenek moyang.
Memang, sebagian warga di sini sudah mengetahui tentang hal itu.
Kebingungan kini melandaku, mataku basah. Yang
bisa kulakukan hanya membiarkan butiran-butiran bening membasahi kedua pipi hingga
aku pun lama kelamaan merasa lelah.
***
“Satrio, sapa pacarmu? Ora pernah dikenalna
karo Ibu. Emang wong endi sih?”
“Oh, iya, Bu. Arane Dewi. Bocah Dukuh Tempel
juga, tapi beda RT karo dewek. Aku sengaja durung pernah ngenalna karo Ibu
soale nunggu waktu tepat, kan aku juga nesih kerja. Tapi, kari misale Ibu
njaluk kayak kuwe, ya wis gampang. Aku bakal ngomong maring Dewi, ben langsung dikenalna
karo Ibu.”
“Lho, ora usah nunggu waktune. Ibu ora pengin
ko salah milih, terus mengko kari wis nikah malah ko ora bahagia. Mulane Ibu
njaluk digawa mene secepete calon bojone ko.”
Percakapan sesaatku dengan Ibu membuat kekhawatiran
menghampiri perempuan setengah baya itu. Tadi Ibu mengatakan kepadaku agar jangan
sampai salah dalam memilih pasangan. Aku takut Ibu tidak menyetujui hubunganku dengan
Dewi, satu-satunya perempuan yang kuharapkan menjadi istriku.
***
“Assalamu’alaikum, Dik. Wis bubu durung?”
“Wa’alaikumussalam. Durung, Mas. Kebeneran men,
mulane nyongge pengin nelpon, tapi malah kedisitan Mas.” . Dengan
nada datar kubalas sapaan Mas Satrio di telepon.
“Oh… Ngene, Dik. Ibuku pengin ketemu karo Adik.
Ya… Ibu pengin ngerti calon bojoku.”
“Apa, Mas? Ibu pengin ketemu aku?” suaraku terdengar keras dan mengagetkan Mas
Satrio.
“Lho, emang primen, Dik? Kan ko sing durung pernah maring
umahku, mumpung Ibu wis ngomong kayak kuwe. Sekalian pendekatan karo Ibu. Dik
bisane kapan? Apa dipikir ndisit nggolet jadwal sing pasti, sekirane ora ganggu
aktivitasmu? Yo wis, Adik ngesuk kan ngajar, aja bubu wengi-wengi mengko
kawanan. Ya? Mas kangen kamu, Sayang….”
Kurebahkan tubuh di atas spring bed lama
hadiah ulang tahunku dua puluh tahun lalu. Rasa kantukku mulai datang. Namun aku
masih saja mengingat kalimat terakhir Mas Satrio yang menyelimutiku dalam malam
yang makin pekat, hingga aku tertidur lelap.
***
“Bapak, lagi sibuk apa ora? Aku pen ngomong
karo Bapak.”
“Ngomong apa, Nduk? Bapak ora lagi sibuk kok. Mumpung
dina kiye ora nilik maring sawah, soale kebutuhan sing diperlukna tukang wis
lengkap. Pengin ngomong apa? Ya wis, mene, njagong ning ruang tamu bae.”
Kulangkahkan kaki dengan perlahan namun pasti. Hari
ini Sabtu, aku libur mengajar. Aku duduk di sofa, tepat di sebelah Bapak.
Sengaja tidak kuambil posisi duduk tepat di depan Bapak karena aku tidak mau memandang wajahnya saat
kami saling bicara. Aku hanya ingin mengetahui penjelasannya, tanpa harus melihat
wajahnya yang selalu bisa mendamaikan suasana.
“Pak, aku ‘kan sak iki umure wis 24 tahun, aku
wis dudu bocah cilik maning. Sing nesih digendong, didulang, diadusi. Aku
pengin mbangun rumah tangga, Pak. Tentune
karo wong sing bener-bener sayang karo Bapak lan aku. Aku wis netepna pilihane
ning Mas Satrio. Aku cuma pengin njaluk restune Bapak. Aku karo Mas Satrio
serius, Pak.”
“Nduk, Bapak pernah ngomong karo ko, kan? Bapak
ora pengin nggawe lara ati karo ko sebagai anake dewek juga wong liya. Bapak
ora pengin ngributi masalah kiyé. Ko wis gedé. Bapak ora pengin ngelarang sing
wis dadi pilihanmu, tapi ko kan ngerti. Keluargane Satrio dudu wong biasa sing
uripe kayak dewek. Keluargane dudu wong sing mbakti karo adat, malah ora pernah
ngelakoni adat sing wis dadi batir urip wong Dukuh Tempel. Ko ngerti ‘kan
maksude Bapak?”
Dengan nada tegas Bapak mengutarakan pernyataannya.
Meskipun aku tak melihat bagaimana laki-laki 55 tahun itu menjelaskan, aku tahu
bagaimana mimiknya. Bagaimana juga ia harus dengan sangat terpaksa menentang
hubungan kami hanya karena satu alasan: beda prinsip. Sebenarnya aku tidak mau
membahas lagi soal itu, tetapi aku tidak bisa membohongi hatiku bahwa aku sangat
kecewa dengan Bapak. Aku juga marah pada diriku sendiri. Bingung, tetapi aku
sadar. Ini barulah permulaan, belum melangkah selanjutnya. Aku masih harus
tetap mempertahankan komitmen ini tanpa harus melawan Bapak.
“Bagaimanapun caranya, akan kulakukan,” bisikku
dalam hati.
***
Kulangkahkan kaki bersama Mas Satrio menuju
rumahnya. Perasaanku tak karuan. Dia menggenggam tanganku erat, dengan sesekali
memandang wajahku. Aku tahu, dia berupaya menguatkan keyakinan hatiku. Perlahan-lahan
risauku pun sirna. Dialah mentari yang mampu membakar kerisauanku.
“Assalamu’alaikum, Ibu. Mene geh, ana Dewi.”
Sambil tergopoh-gopoh wanita itu berlari kecil menuju
ruang tamu.
“Oh, kiye sing arane Dewi?”
Aku mendekat pada wanita itu, lalu kucium
tangannya sebagai rasa hormat dan salam perkenalanku dengannya.
“Umahe nang endi? Jarene cah Dukuh Tempel?
Anake sapa?”
Pertanyaan Ibu membuatku semakin takut dan
gugup. Aku tidak kuasa memandang matanya yang begitu tajam. Tanganku mulai
gemetaran. Apakah ini yang selalu dirasakan perempuan lainnya ketika
bertemu dan bicara dengan Ibu dari calon suaminya untuk pertama kalinya? Ah!
Kurasa hanya aku yang seperti ini, kataku dalam hati.
“Nggih, Bu. Griya kulo teng Dukuh Tempel,
putrine Pak Sugeng”
“Oh, Pak Sugeng sing umahe ning blok Dukuh
Tempel?”
Percakapan kami berakhir sampai di sini, karena
ia pamit pergi entah ke mana. Mungkin menengok karyawannya yang ada di
percetakan, atau mungkin sengaja memberikan keleluasaan padaku dan Mas Satrio
untuk saling berbincang. Entahlah, lirihku dalam hati.
***
“Satrio, Ibu pengin ngomong karo ko, lagi
ora sibuk ‘kan?”
“Ngomong apa, Bu? Iya, Bu. Aku ora lagi
sibuk.”
“Satrio, Ibu pengin ngomong masalah Dewi. Ko
kan ngerti, keluargane dewek dudu keturunan sing percaya maring adat sing ora
mlebu akal, apa maning sampe ngelakoni, ko ngerti maksude Ibu, ‘kan?”
“Iya, Bu.”
“Ibu kudu ngomong masalah Dewi karo keluargane
maring ko. Bapakne Dewi, Pak Sugeng, kuwe wong sing taat lan manut karo adat,
sing dadi kepercayaan wong gemenyen mesti dilakoni, Ibu ngerti men keluargane
Dewi. Ko kan wis dewasa, Ibu juga ora pantes ikut campur masalah pribadine ko,
terlalu ngatur. Ibu ora pengin. Tapi, masalah sing lagi diadepi Ibu karo ko
kudu cepet dirampungna. Kan kiye nganggo masa depane ko juga, kari ko mbesuk
ora bahagia, kan Ibu juga bakal ditagih, ndaranine Ibu ora ngerumat ko sing
bener. Ko ngerti ‘kan maksude Ibu sekiye?”
Aku hanya mengangguk lalu diam, sedangkan Ibu
pergi ke kamar meninggalkanku yang mendadak dilema. Kurebahkan tubuh ini di
sofa. Mataku tak sanggup jika harus menatap langit dan bercerita pada malam
tanpa bintang.
***
Nada dering “Beautiful Girl” milik Christian
Bautista membuyarkan lamunanku, pertanda ada pesan masuk ke handphone-ku.
“Dik, hari ini kamu sibuk nggak? Ada yang mau
Mas bicarakan sama kamu.”
“Kebetulan nggak ada, Mas. Ada apa? Kamu mau
membicarakan masalah penting ya? Ya sudah, aku tunggu di Warung Biru jam 3 sore
ya?
“Oh, gitu. Oke, Sayang.”
***
“Dik, Ibu ora nyetujuni maring awake dewek.”
“Apa, Mas?” jawabku tak percaya. Seakan-akan
tumpukan batu karang merobek hatiku. Rasanya sungguh sakit, sungguh perih.
“Dik, aku ora nyana Ibu ngomong kayak kuwe. Aku
nyana Ibu setuju karo dewek.”
“Mas….”
Aku tercekat, tak sanggup meneruskan kalimatku.
Air mataku mulai berlelehan. Aku sungguh tak kuasa membendungnya. Sementara
Mas Satrio memilih diam. Mungkin ia pun merasakan apa yang kurasa.
“Mas, aku ora sanggup ngelawan Bapak, tapi aku
juga ora ngerti kudu primen maning. Aku bingung.”
Mas Satrio menarik lenganku, lalu memelukku
dengan erat. Ia menumpahkan segala kesedihannya lewat pelukan. Tangisku memecah
keheningan.
“Dik, terus dewek kudu kayak apa? Wong tuane dewek nduweni prinsip sing beda
men. Mas ora bisa angger kayak kiye. Mas pengin urip karo ko selawase. Gusti
Allah Maha Pemurah, ‘kan? Nasibe dewek deneng kayak kiye nemen?”
“Mas, aku pengin lunga sing umah. Ben ora usah
ngrepoti Bapak maning. Kan aku wis kudu-kudune mandiri, ‘kan?”
“Apa, Dik? Ko serius? Terus primen karo Bapakmu,
Ibuku? Aku sih ora papa.”
“Wislah, Mas. Aku cukup nurut selama kiye karo Bapak.
Aku emoh nurut kari kayak kiye carane.”
Angin mengantarkan kepergian kami menuju tempat
yang jauh: jauh dari adat, keramaian, dan orang-orang Dukuh Tempel. Mas Satrio
mengenggam erat tanganku, aku membalasnya lebih erat.
Inilah yang terbaik bagi kami berdua. Aku tak
mau merepotkan Bapak lagi, begitu juga dengan Mas Satrio kepada Ibunya. Ya,
meskipun mungkin pahit bagi orang tua kami, namun inilah pilihan kami.
Senjakala melepas langkah kami dari Warung Biru
ini. Ya, barangkali inilah yang dinamakan pengobanan dalam cinta. Sebuah
pengorbanan yang indah. Tak dapat dipungkiri, inilah pilihan bagi cinta kami
yang begitu kuat dan takkan terpisahkan oleh apa pun.
***
“Sedang di
depan. Kenapa, Pak?”
“Oh… Tidak
apa-apa. Bapak kira masih di kamar. Bapak mau bicara, ke sini sebentar.”
Sapaan bagi
laki-laki yang usianya lebih tua dalam bahasa Jawa.
Sebutan “Tuhan”
dalam bahasa Jawa
“Bapak tidak
mau membuat orang lain sakit hati, apalagi anak sendiri. Bapak hanya ingin kamu
hidup bahagia bersama suamimu kelak. Agar Bapak juga bisa ikut berbahagia ketika
melihatmu bahagia jika sudah meninggal dunia nanti.”
“Satrio,
siapa pacar kamu? Kok tidak pernah dikenalkan ke Ibu. Dia orang mana?”
“Oh, iya, Bu.
Namanya Dewi. Dia juga anak Dukuh Tempel, tetapi beda RT sama kita. Aku sengaja
belum mengenalkan ke Ibu, karena aku pun juga masih kerja. Tetapi, kalau Ibu
ingin kenal dia, nanti aku bicara ke dia biar langsung berkenalan sama Ibu.”
“Lho, tidak
perlu menunggu waktu yang tepat. Ibu tidak ingin kamu salah pilih, lalu nanti
setelah menikah kamu tidak bahagia. Makanya, Ibu ingin kenal secepatnya dengan
calon istrimu.”
“Assalamu’alaikum,
Dik, sudah tidur atau belum?”
“Wa’alaikumussalam.
Belum, Mas. Kebetulan sekali, tadinya aku mau telepon. Tetapi kamu sudah lebih
dulu.”
“Oh… Begini,
Dik. Ibu mau ketemu sama kamu. Katanya, Ibu mau kenal sama calon istriku.”
“Apa, Mas?
Ibu mau ketemu denganku?”
“Lho, memang
kenapa, Dik? Kamu ‘kan belum pernah ke rumahku. Mumpung Ibu sudah bicara
seperti itu. Mau kan, Dik? Sekalian pendekatan sama Ibu. Kamu bisanya kapan? Apa
dipikirkan dulu, cari jadwal yang pasti, agar tidak mengganggu aktivitasmu? Ya sudah,
besok ‘kan kamu mengajar, jangan tidur terlalu malam agar tidak kesiangan. Mas
kangen kamu, Sayang.”
“Bapak, lagi
sibuk atau tidak? Aku mau bicara sama Bapak.”
“Bicara apa,
Nduk? (Nduk=sapaan sayang untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa). Bapak sedang
tidak sibuk kok. Kebetulan hari ini sedang tidak ke sawah, karena kebutuhan
sawah sudah lengkap. Kamu ingin bicara apa? Ya sudah, sini, duduk di ruang tamu
saja.”
“Pak, sekarang
‘kan umurku sudah 24 tahun, dan bukan lagi anak kecil, yang masih digendong,
disuapi, dan dimandikan. Aku ingin membangun rumah tangga, tentunya dengan orang
yang benar-benar menyayangiku dan Bapak. Aku sudah menetapkan hati dengan
memilih Mas Satrio. Aku hanya ingin meminta restu dari Bapak karena aku serius
sama dia.”
“Nduk, bapak
pernah bilang sama kamu, kan? Bapak tidak mau membuat hatimu sakit karena
sebagai anak sendiri juga kepada orang lain. Bapak tidak ingin meributkan
masalah ini. Kamu sudah dewasa. Bapak juga tidak mau melarang apa yang sudah
menjadi pilihanmu, tetapi kamu kan tahu. Keluarga Satrio bukan berasal dari
kalangan sederhana seperti kita, mereka bukan keluarga yang selalu menjunjung
tinggi adat, bahkan tidak pernah melakukan adat yang sudah menjadi teman hidup
warga Dukuh Tempel. Kamu mengerti ‘kan maksud Bapak?”
“Assalamu’alaikum,
Ibu. Ini ada Dewi.”
“Oh, ini
yang namanya Dewi?”
“Rumahnya di
mana? Katanya kamu anak Dukuh Tempel? Anaknya siapa?”
“Iya, Bu.
Rumah saya di Dukuh Tempel. Saya putri Pak Sugeng.”
“Oh, Pak Sugeng
yang rumanhnya di Dukuh Tempel?”
“Satrio, Ibu
mau bicara sama kamu. Kamu lagi tidak sibuk, kan?”
“Mau bicara
apa, Bu? Iya, aku kebetulan lagi tidak sibuk.”
“Satrio, Ibu
mau membicarakan masalah Dewi. Kamu ‘kan tahu, keluarga kita bukanlah keturunan
yang percaya pada adat yang tidak masuk akal, apalagi sampai menjalaninya. Kamu
mengerti maksud Ibu, ‘kan?”
“Ibu harus membicarakan
masalah Dewi dan keluarganya ke kamu. Bapaknya Dewi, Pak Sugeng, itu orang yang
taat dan setia pada adat yang jadi kepercayaan orang, segalanya harus dijalani.
Ibu mengerti betul siapa keluarga Dewi itu. Kamu ‘kan sudah dewasa, Ibu juga
tidak pantas ikut campur masalah pribadimu, terlalu mengatur kamu. Ibu tidak
ingin. Tapi, masalah yang dihadapi Ibu dan kamu harus segera diselesaikan. Ini
untuk masa depanmu juga, karena jika kelak kamu tidak bahagia, ‘kan Ibu juga
yang akan dipertanyakan orang lain, nanti mereka kira Ibu tidak mendidikmu
dengan benar. Kamu paham ‘kan maksud Ibu sekarang?”
“Dik, Ibu
tidak setuju dengan hubungan kita.”
“Dik, aku
tidak menyangka Ibu akan bicara seperti itu. Awalnya aku mengira ia setuju
dengan hubungan kita.”
“Mas, aku
tidak sanggup melawan Bapak, tetapi aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku
bingung.”
“Dik, lalu
kita harus bagaimana? Orang tua kita memiliki prinsip yang berbeda. Mas tidak
bisa jika harus terus-menerus seperti ini. Mas ingin hidup bersamamu selamanya.
Allah Maha Pemurah, ‘kan? Kok nasib kita begini sekali?”
“Mas, aku
ingin pergi dari rumah. Agar tidak merepotkan Bapak lagi. Aku emmang sudah
seharusnya mandiri, ‘kan?”
Apa, Dik? Kamu
serius? Lalu bagaimana dengan Bapakmu, juga Ibuku? Aku sih tidak masalah.”
“Sudahlah,
Mas. Selama ini aku selalu menuruti perintah Bapak. Aku tidak mau menurutinya
lagi jika begini caranya.”